HINGGA 1990-an, pada saat hari
libur terutama ketika lebaran tiba, orang-orang di sekitar Pemalang
biasa mengunjungi Desa Penggarit sebagai salah satu objek wisata sejarah
atau budaya.
Hiburan untuk masyarakat dipusatkan di sekitar lokasi pohon nagasari tua
yang konon merupakan tempat sebuah keris pusaka dari Pemalang
tertancap. Selain mencari ketenangan dan suasana hutan yang sejuk,
mereka juga bisa tetirah di makam yang dianggap keramat oleh masyarakat.
Di tempat itu terdapat Makam Pangeran Benowo.
Dalam sejarah, kita tahu, Pengeran Benowo adalah salah satu anak Raja
Hadiwijaya atau Jaka Tingkir dari Pajang. Masyarakat Pemalang dewasa ini
barangkali tidak tahu latar belakang kenapa Pangeran Benowo yang
merupakan anak Sultan Pajang itu dikuburkan di Desa Penggarit.
Berkembangnya minat pada sejarah lokal membuat keberadaan makam di Desa
Penggarit yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai Makam Pangeran
Benowo itu menarik untuk ditelusur kembali. Bukan hal aneh jika
penelusuran kembali pada situs-situs budaya dan sejarah ini selain
bertujuan untuk lebih mengenal segala hal yang menjadi kekayaan budaya
lokal juga berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi dan pariwisata.
Menurut mitos yang banyak dipercayai orang, keberadaan Makam Pangeran
Benowo di Desa Penggarit dilatarbelakangi oleh pencarian pusaka Keris
Sitapak.
Pusaka ini dimiliki Tunggul Wasesa Palawangan yang bermukim di Desa
Palawangan dekat Pantai Widuri. Kerajaan Pajang memerlukan keris pusaka
Sitapak dalam upaya memenangi perang ”Konjana Papa”, yaitu perang antara
ayah dan anak dalam memperebutkan takhta kerajaan. Sultan Hadiwijaya
yang berkuasa di kerajaan Pajang mengadakan peperangan dengan Sutawijaya
yang merupakan anak angkat karena Sutawijaya ingin menjadi pewaris
Kerajaan Pajang sementara Sultan Hadiwijaya ingin menyerahkan kerajaan
pada anak sulung.
Pangeran Benowo yang merupakan anak sah Sultan Hadiwijaya, meskipun
bukan anak sulung atau Putra Mahkota, tentu membela kedudukan ayahnya.
Ia diberi tugas untuk mendapatkan pusaka yang dimiliki oleh Tunggul
Wasesa sehingga rela melakukan perjalanan jauh dari Pajang hingga ke
Palawangan selain bisa memenangkan peperangan.
Keris Pusaka
Ketika sampai di Palawangan, bertemulah ia dengan Tunggul Wasesa dan
mengutarakan sebab kedatangannya. Tunggul Wasesa berkata bahwa ia tidak
meminjamkan senjata pusaka itu, namun sekalian memberikannya dengan
syarat bahwa ia bisa mengangkat pusaka itu dan menikahi anaknya yang
bernama Dewi Urang Ayu. Ia ingin menguji apakah Pangeran Benowo
betul-betul ingin mendapatkan pusaka itu dan menjalankan darma bakti
pada orang tua meskipun harus menikah dengan seorang perempuan yang
tidak cantik.
Ternyata keris pusaka Sitapak dengan sangat mudah diangkat oleh Pangeran
Benowo. Para hadirin yang melihat peristiwa itu sontak bersorak-sorai.
Pangeran Benowo berjanji akan menikahi Dewi Urang Ayu kalau ia sudah
menjalankan darma bakti membela Sultan Hadiwijaya dalam peperangan. Tapi
Kerajaan Pajang kalah perang dengan Sutawijaya yang berkuasa di Kota
Gedhe. Mendengar berita kekalahan itu, Pangeran Benowo kecewa. Hasil
kerja kerasnya sia-sia belaka.
Diliputi kemarahan, tanpa sadar ia membanting keris pusaka Sitapak ke
sebuah pohon nagasari besar sehingga pohon itu seketika saja tumbang
hingga ke akar-akarnya. Pusaka Sitapak tertancap pada pohon dan tidak
ada seorang pun yang bisa mencabutnya. Pangeran Benowo dan pengikutnya
lalu memutuskan bertempat tinggal di situ.
Kekecewaannya membuat ia melupakan janji pada ki Tunggul Wasesa
Palawangan untuk menikahi Dewi Urang Ayu. Ia tinggal di tempat itu dan
hidup sebagai kawula alit.
Untuk kepentingan makan ia mencari ikan lele di kali dekat pohon
tumbang. Tapi ia tak bisa menutupi kegundahan pada sosok Dewi Urang Ayu.
Melihat kekecewaan dan patah hatinya karena tak menikahi dewi Urang Ayu
orang-orang menyebut keadaan Pangeran Benowo dengan istilah Grogek atau
”Patah hati”.
Dan sungai tempat ia mencari ikan dinamai Kali Grogek. Di Kali Grogek
ada tempat bernama Jamban Ndalem, tempat mandi raja. Jamban Ndalem
sendiri adalah bagian Kali Grogek yang terdalam, bahkan ada gua dalam
kali yang menjorok ke Candi Penggarit.
Setelah mengatasi segala kekecewaan hidupnya ia menemui ki Tunggul
Wasesa Palawangan dan Dewi Urang Ayu. Diadakanlah pernikahan sederhana
antara Pangeran Benowo dan Dewi Urang Ayu.
Dari perkawinan itu mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki dan
perempuan, yaitu Joko Genteng yang diasuh oleh Ki Gedhe Kesesi dan
Gandasari yang diasuh oleh Ki Gedhe Ampel Gading.
Pada masa tuanya Pangeran Benowo meninggalkan kehidupan duniawi dan
memutuskan untuk bertapa. Salah satu pengikut Pangeran Benowo, yaitu
Mbah Kemis hijrah ke Desa Cibelok. Hanya Jamur Apu yang setia mengikuti
Pangeran Benowo dan mendampingi dalam melakukan tapa brata.
Makam Benowo
Hingga sekarang masyarakat di sekitar Pemalang percaya bahwa makam tua
di Desa Penggarit dekat pohon besar di Kali Grogek itu adalah Makam
Pangeran Benowo. Sampai 1950-an, di Makam Pangeran Benowo masih
terpajang tulisan dengan huruf Jawa yang berbunyi kurang lebih: ”Yen
Ngabekti den nastiti ngati-ati marang Gusti. Aja lali para Wali kang
supadi antuk panganggep ingsun.”
Namun sekarang keberadaan papan itu entah di mana. Sejarah asal mula
Desa Penggarit saja kini mulai dilupakan orang. Tempat yang dulu setiap
lebaran ramai dikunjungi orang baik untuk berwisata maupun untuk tetirah
kini tak terurus baik oleh pemerintah daerah maupun oleh para penduduk
di sekitar makam itu.
Tentu saja sejarah lokal semacam ini menarik untuk ditelusuri kembali,
bukan hanya untuk mengungkap kebenaran cerita dan mitos yang
simpang-siur, namun juga untuk lebih memberikan identitas yang jelas
pada masyarakat Penggarit khususnya dan masyarakat Pemalang pada
umumnya. Usaha ini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat sejarah namun
juga oleh pemerintah daerah dan masyarakat pada umumnya.
Sejarah adalah kaca benggala, cermin bening yang bisa menjadi tempat
yang sesuai bagi kita berkaca dan menilai siapa diri kita sebenarnya,
siapa nenek moyang kita, dan bagaimana kita harus menghargai warisan
nenek moyang itu dengan sebaik-baiknya. Yang lebih penting, mitos juga
memberikan arahan hidup bagi kita dalam menyikapi masa depan dengan
bijak, tak sekedar mengikuti arus yang tak tahu kemana akan berujung.
(35)